Tidak....terima kasih.

Terjadi lagi.... dengan desahan nafas yang membuat saya lelah. Kasus ketika saya bertemu lagi dengan orang-orang yang beranggapan keimanan seseorang diukur dari lebar kecilnya kerudung dan hitam atau tidaknya dahi seorang ikhwan plus janggut menjadi "pemanis" keimanan mereka.

Orang-orang yang sepertinya akan selalu saya temui dan tidak akan hilang dari permukaan bumi ini. Mereka yang beranggapan diri lebih baik dari orang lain dikarenakan hafalan Quran yang lebih banyak dari yang lain, kerajinan mereka untuk bersholat malam, dan lebih giat dalam mengerjakan amalan soleh lainnya sehingga merasa diri lebih berhak untuk memilih teman yang dianggap mereka layak untuk dijadikan teman untuk berada di sekitar mereka.

Kejadian seperti ini pertama kali menimpa saya ketika saya masih duduk dibangku SMA. Awalnya merasa nyaman karena mempunyai lingkungan dimana teman-temanya bisa saling mengingatkan dalam kebaikan khususnya dalam beribadah. Lama kemudian timbul yang namanya ekslusifitas. Dipilih orang-orang tertentu untuk diajak bergaul atau membuat semacam pertemuan atau pengajian yang lebih intern. Saya mulai mengerutkan dahi, merasa tidak nyaman akhirnya saya keluar dari lingkungan itu dan bergabung dengan sebuah komunitas yang lebih fleksibel meski memang target ibadah untuk saling mengingatkan tidak sekuat dari sebelumnya.

Yang kedua adalah ketika masa-masa kuliah. Sebuah awal yang memang tertarik dengan kegiatan apa yang dirancangkan oleh sebuah komunitas keagaaman bukan dengan akan seperti apa orang-orang didalamnya atau akan seperti apa jika saya terlibat. Dan akhirnya ketidaknyamanan itu kembali saya temukan dan bahkan lebih parah. Lingkungan yang lebih erat memang saya temukan disana. Keluarga bahkan bisa jadi nomer kedua setelah mereka bagi masing-masing anggota, apalagi kuliah. Dan akhirnya kuliah pun keteteran, semua nilai saya anjlok disamping saya memang pas-pas an dalam meraih nilai disetiap mata kuliahnya ditambah pula dengan kegiatan yang bejibun dari komunitas saya ini. Dengan dalih kegiatan yang dilakukan lebih mendekati amalan akhirat daripada duniawi.

Dari awal saya memang sering banyak bertanya dan boleh dibilang kritis menanggapi pemikiran-pemikiran mereka sampai akhirnya saya mulai kurang dilibatkan. Mereka menjaga diri atau lebih tepatnya jaim didepan saya tapi tidak jika saya sudah tidak ada dihadapan. Lucu sebenarnya, dan saya pun mengundurkan diri dari komunitas ini. Efek dari sikap yang saya ambil ini memperburuk hubungan saya dengan mereka. Tak ada lagi senyuman jika bertemu saya apalagi sebuah pelukan dan jabatan hangat dari mereka... jangan harap.

Dan sekarang setelah saya menikah pun saya masih juga menemukan orang-orang seperti itu. Terakhir ini cukup membuat saya sangat kecewa dengan mereka yang masih mempunyai pikiran seperti ini. Betul ada hadits yang mengingatkan pilihlah kawan yang baik untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, ibarat seorang penjual parfum wanginya akan menempel ke setiap kawan yang dekat dengannya. Jadinya, boleh dengan sesuka hati menentukan siapa kawan yang boleh dekat atau gabung? Dan mengeyampingkan yang lain karena dinilai tidak kompeten atau berkapasitas dalam bersosialisasi atau bergabung dalam lingkungan.

Begitukah? Apa gunanya dakwah kalau begitu? Atau justru muncul pemikiran kami lah yang hapalannya hanya seputar juz 30, yang sholat malam sekenanya adalah orang -orang yang layak untuk dijadikan ladang dakwah tepatnya untuk diceramahi bukan dijadikan kawan dakwah untuk saling berbagi kemudian mengajak ke dalam kebaikan???

Tidak ingatkah engkau kawan? Yang berhak menilai keimanan seseorang itu hanyalah Allah. Penampilan seseorang tidak menjamin hati mereka seorang maling ataupun seorang ulama sekalipun. Tak ada yang bisa menjamin itu. Meski memang diakui penampilan seseorang mencerminkan citra seseorang apa termasuk iman didalamnya??

Akh kawan.... hanya Allah.. hanya Allah lah yang berhak menilai diri kita juga keimanan kita.

Bukan... bukan manusia yang sangat jahil dan bodoh dalam menilai hati seseorang. Tak ada siapapun yang berhak untuk menentukan siapa kawan dekat siapa hanya karena mereka terlihat lebih rajin bercuap-cuap tentang ibadah dibanding yang lain.

Merasa tersanjung ketika terpilih didalamnya, tapi masih banyak kawan lain yang masih bisa kita ajak untuk berbagi dalam kebaikan tanpa harus memilah-milah atas kelayakan seorang teman dalam beribadah.

Tak ada ruginya jika kita semua muhasabah dengan diri kita sendiri. Kualitas apa saja seseorang layak dijadikan sebagai seorang teman dalam berbagi kebaikan di dunia dan akhirat.

Mereka yang tampak dari luar begitu rajin beribadah atau mereka yang akan selalu hadir ketika kita butuh seseorang untuk berbagi baik itu kesenangan atau kesusahan...???

Serdang 6:42 AM

Honey Bee yang selalu merindukan kebersamaan

Comments

Post a Comment

haii Tiada kesan tanpa komentarmu

* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon

Popular posts from this blog

Mudik...!!

What's the meaning of Jilbab