Antara Indonesia, Malaysia dan Budaya


Sentimen diantara Indonesia dan Malaysia sepertinya akan selalu ada, hidup bertetangga pasti ada suka dukanya, apapun itu. Dari awal dengar berita tentang penggunaan Tari Pendet sebagai penyambut kedatangan wisatawan ke Negara Malaysia di iklan-iklan yang tayang di televisi hingga memunculkan isu tentang pengakuan ataupun klaim tentang budaya atau apapun, saya sangat tergelitik sekali untuk membuat tulisan tentang hal ini. Tidak ingin latah sebenarnya atau saat itu mungkin lebih tepatnya saya menunggu respon kerajaan Malaysia akan seperti apa menganggapi media massa Indonesia yang sangat memojokkan Malaysia.

Untuk hal ini pengawasan yang dilakukan pihak kerajaan atas media massa yang ada di Malaysia patut saya acungi jempol. Tak ada satu berita pun yang saya dengar untuk melawan pemberitaan yang ada di Indonesia. Semua terkendali dan tenang. Bahkan boleh dibilang sempat malu ketika salah satu televisi swasta disini menyiarkan tingkah laku anarkis masyarakat Indonesia ketika digambarkan ada yang membakar bendera Malaysia karena saking marahnya atas pengakuan Malaysia akan tari Pendet yang jelas-jelas milik Indonesia. Hal ini bukan yang pertama kali sebenarnya, sudah berulang kali Malaysia bertingkah, menggunakan apa yang ada di Indonesia "di pakai" oleh Malaysia. Bahkan seolah-olah DIKLAIM oleh pihak Malaysia.

Ijinkan saya bercerita tentang hal ini, karena lokasi saya berada di Malaysia dan sebagai Warga Negara Indonesia, ingin mengungkapkan apa yang mungkin belum tersibak bagi kawan-kawan yang berada di Indonesia atau dimana pun yang mungkin belum mengetahuinya.

Ketika masih di Indonesia pertama kali yang saya dengar tentang penggunaan budaya Indonesia oleh Malaysia adalah Reog Ponorogo. Sudah ramai tentunya respon yang diberikan saat itu. Karena waktu itu saya masih di Indonesia, cukup panas juga dengan tingkah Malaysia ini. Kemudian mendengar pula Angklung pun diperlakukan serupa oleh Malaysia. Digunakan sebagaimana halnya Reog Ponorogo.

Selang beberapa tahun kemudian setelah pindah ke Malaysia, saya sangat tertarik sekali jika ada pemberitaan tentang Indonesia. Hal yang sering diberitakan tentang Indonesia adalah kehidupan seputar TKW atau TKI yang berada di Malaysia. Seringnya para TKW ini diberitakan mereka lebih beruntung hidup di Malaysia dibanding Indonesia. Pendapat saya pribadi tentang ini adalah hak preogratif bagi pihak Malaysia untuk memilih berita apa yang ingin disuguhkan kepada pemirsanya, sebagaimana Indonesia memilih berita seperti apa yang ditayangkan, mengingat hal ini juga benar adanya.

Dan tentang "peperangan" budaya ini yang pertama kali saya lihat dilayar kaca di Malaysia adalah Angklung. Awalnya cukup geram karena Angklung ini cukup sering digunakan disini, dikatakan jika Angklung ini ada juga di Malaysia bukan saja di Indonesia. Jika saya berjalan ke toko souvenir disini tak jarang juga menemukan merchandise Angklung untuk dijadikan oleh-oleh khas negara Malaysia. Saya hanya bisa tertawa miris. Well, Angklung jelas datangnya dari daerah kelahiran saya tapi melihat kondisi ini, sikap yang tepat seperti apakah yang bisa dilakukan?

Hingga akhirnya saya melihat Reog Ponorogo ditayangkan. Disini dikenal dengan nama Tari Borongan. Bukan itu saja Kuda Lumping pun ada atau lebih dikenal dengan Kuda Kepang Johor. Melihat tayangan yang terakhir ini memicu sebuah pikiran yang cukup menggelitik saya . Ada apa sebenarnya dengan hal pemakaian budaya ini?

Jika ingin kilas balik ke tahun 2002 atau 2003 pun, ketika akhirnya Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia, hal ini yang paling membuat saya miris. Jika suatu saat kemudian Indonesia dan Malaysia berseteru kembali dan meminta pihak ketiga untuk memutuskan mana yang berhak atas "peperangan" budaya ini, apa yang akan terjadi jika Indonesia kalah kembali? Padahal  jelas-jelas, misal jika Kuda Kepang yang diperebutkan, adalah milik Indonesia apa yang bisa yang kita lakukan sebenarnya?

Saya tidak akan menggunakan kata klaim atau pengakuan untuk budaya atau apapun yang seharusnya ada di Indonesia dan berada di Malaysia. Karena memang selama ini pihak Malaysia tidak pernah mengakui budaya-budaya itu sebagai milik mereka. Sejauh yang saya dengar pernyataan yang mereka keluarkan adalah bahwa budaya-budaya itu ada juga di Malaysia BUKAN MILIK MALAYSIA. Jadi saya sendiri heran kenapa media massa yang ada di Indonesia mengeluarkan isu bahwa Malaysia mengklaim budaya-budaya yang ada di Indonesia? Korban media Indonesia yang kebabablasan menurut saya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari Klaim adalah yang pertama tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu, arti yang kedua adalah pernyataan tentang suatu fakta atau kebenaran sesuatu. Sedang arti dari kata Mengakui adalah: 1. Mengaku akan,  2. Menyatakan sah, 3. Menyatakan berhak (atas), 4. Memasuki. Jika merujuk semua arti dan maksud dari KBBI ini, bisa dipastikan Malaysia tidak pernah sekalipun melakukan klaim mengklaim. Dan saya berani menyatakan ini.

Jika saya baca disalah satu blog Malaysia, klik disini, dikatakan jika Kuda Kepang ini memang asalnya dari tanah Jawa di Indonesia, karena dari dulu banyak orang Indonesia berimgirasi ke tanah Melayu (Malaysia dulu) dipastikan budaya ini ikut pindah juga. Yang pastinya orang-orang Indonesia yang pindah dan mengenalkan Kuda Kepang ini tidak pernah terpikirkan sama sekali tentang efek setelahnya, jika budaya ini akan menjadi ramai dibicarakan atau bahkan mungkin diperebutkan.

Pun dengan Reog Ponorgo atau Angklung. Jika ditanya pun mereka akan menjawab asalnya dari Indonesia karena jika ditanya tentang sejarah asal muasalnya orang asli yang biasa menggunakannya lah yang paham kronologisnya. Tentunya Negara Indonesia, dimana semua itu berasal. Hanya memang yang disayangkan dari sikap mereka adalah mereka jarang menyebutkan asal muasal dimana budaya yang mereka pergunakan. Kecuali! Jika ditanya tentunya mereka akan menjawab. Juga sikap Malaysia yang berani memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia dan membuat semua mata didunia beranggapan bahwa semua budaya tersebut berada di Malaysia.

Sudah jelas disini sebenarnya bahwa apa yang dilakukan Malaysia selama ini yaitu mengenalkan berjuta kekayaan Indonesia kepada dunia melalui mereka. Walhasil? Dunia akan beranggapan bahwa semua budaya itu berasal dari Malaysia bukan Indonesia. Jadi jika ada wisatawan yang ingin tahu tentang budaya-budaya ini, dan datang ke Malaysia sudah dipastikan mereka akan menemukannya disini. Apa yang salah disini sebenarnya?

Jika saya pergi berwisata di Malaysia, apa yang ditawarkan utamanya adalah fasilitas yang disediakan pihak kerajaan kepada wisatawan lah yang utama bukan tempatnya itu sendiri. Karena wisatawan benar-benar dimudahkan untuk menikmati kekayaan Malaysia yang sederhana ini. Ini adalah hal pertama dimana Indonesia ketinggalan satu langkah akan Malaysia.

Kedua adalah yang terjadi selama ini, selama 26 tahun saya hidup di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya sendiri, pun pihak pemerintahannya tidak perduli dengan budaya Indonesia yang kaya. Diakui atau tidak. Contoh ringan adalah penggunaan bahasa daerah. Anak kecil jika ditanya dengan bahasa daerahnya masing-masing dipastikan akan bengong. Apalagi ditanya tentang budaya yang ada, terlalu berat sepertinya.

Jika berjalan-jalan di Bandung ke daerah Timur dimana ada rumah pelopor sang Angklung yaitu Pak Ajo Ngalagena, disediakan tempat bagi mereka yang tertarik untuk mempelajari alat musik tersebut. Meski tidak sebanyak peminat ke tempat les gitar atau biola setidaknya masih ada yang datang kesana, hal ini cukup kuat untuk dijadikan contoh bahwa masyarakatnya sendiri kurang peduli dengan kekayaan yang tersimpan didalamnya. Begitu ada orang luar yang menggunakannya dan memperkenalkannya ke dunia luar, baru lah kita berasa kebakaran jenggot. (Photo diatas adalah gambar Pak Udjo)

Jadi jika Malaysia cukup gencar mempromosikan apa yang sebenarnya ada di Indonesia dan pihak Indonesia adem ayem aja dengan kekayaannya, langkah apa yang tepat untuk kita ambil ?

Saya pribadi mencoba untuk membiasakan anak-anak dirumah menggunakan bahasa daerah, meski berada di negara orang. Dan jika bukan karena bantuan suami mungkin saya akan ikut-ikutan mengikuti yang lain memakai bahasa luar bukan bahasa ibu. Contoh lain adalah mengenalkan kepada anak-anak lagu-lagu daerah Indonesia juga lagu-lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Mulai lah dari diri kita sendiri, dari hal yang terkecil dilingkungan sekitar kita untuk mengambil sebuah langkah dan melakukan perubahan besar bagi negara Indonesia. Big Action for Small Country!!



* Photo-photo diatas diunduh dari Embah Google


Serdang, 16 Juni 2010
1:40 PM


Comments

Post a Comment

haii Tiada kesan tanpa komentarmu

* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon

Popular posts from this blog

Mudik...!!

What's the meaning of Jilbab