Kawan Sejati Ku


Abah: "Ummi itu, kalau udah baca buku suka autis*!!"

Itu adalah komentar yang diberikan oleh suami, jika saya sedang asyik berduaan bersama buku. Well, tidak dipungkiri terkadang suami suka protes jika dia sedang berada dirumah dan saya sendiri dengan tenangnya baca buku. Suami sudah faham jika saya sudah baca buku, keadaan sekitar menjadi hilang dari pandangan saya. Bahkan pernah ketika antengnya baca buku, Sayur Jagung yang sedang saya hangati diatas kompor gas, gosong! Hitam sampai kedasar-dasarnya, saking asyiknya saya membaca buku.

Sehingga, terkadang suami meminta saya untuk mencari waktu yang lebih tepat lagi untuk membaca buku. Kedekatan saya dengan buku terkadang membuatnya cemburu. Atau bahkan jika isengnya sedang kumat, tanpa sepengetahuan saya ia suka membaca ending dari buku yang sedang saya baca dan menceritakannya, yang ada saya suka pengen nimpuk dia sama bukunya.

Awal Ku Mengenalnya

Jika merunut asal muasal kedekatan saya dengan buku ini adalah kembali ke masa-masa kecil dulu. Saya adalah anak tunggal dengan seorang ibu yang sibuk dengan kerjanya demi menghidupi saya. Meski mempunyai ramai sepupu, tak jarang saya selalu merindukan kehadiran seorang adik atau kakak. Sampai begitu penasarannya seperti apakah rasanya mempunyai kakak ataupun adik.

Sampai suatu saat, saya menemukan sebuah muara baru bernama buku. Seolah menemukan saudara sejati yang selama ini saya rindukan. Waktu itu masih duduk dikelas 2 SD. Buku pertama saya adalah buku Sapta Siaga. Tipis dan kumal dengan halaman yang sudah menguning. Seolah terbius saya membaca buku itu berulang-ulang. Judul bukunya yang pertama kali saya baca adalah Serikat Sapta Siaga. Menempel kuat dalam ingatan gambar covernya yaitu seorang anak yang sedang berlari karena ketakutan.

Dari Sapta Siaga beralih menuju buku-buku perdetektifan lainnya. Lima Sekawan, Agatha Chiristie, juga Trio Detektif. Cerita-cerita bergambar pun tak luput dari perhatian saya. Serial Nina, Smurf, Tin Tin, Asterix, juga Donald Bebek. Majalah pun tak saya lewati, dari majalah dewasa seperti Hai, majalah daerah saya yang berbahasa sunda yaitu Mangle, dan tentunya majalah kanak-kanak waktu itu, yaitu Bobo.




Beredar setiap hari kamis, dipastikan ketika sore hari kakek saya pulang kerja selalu membawa majalah Bobo. Kami berempat, saya bersama kakak-kakak sepupu saya selalu berebutan untuk membacanya. Karena saking semangatnya kami ingin segera membaca, keadaaan majalah sobek sebelum sempat kami baca. Sampai akhirnya keluarlah aturan siapa yang boleh duluan membaca yaitu mereka yang paling tua didahulukan untuk mendapatkan giliran pertama dan seterusnya. Walhasil, saya yang paling bontot selalu mendapat giliran terakhir dengan keadaan majalah yang sudah lecek. Meski begitu saya merasa puas karena saya yang paling bisa berlama-lama bersama Bobo.

Buku yang paling berkesan

Diantara sekian buku yang pertama kalinya saya kenal dan yang paling berkesan adalah buku Trio Detektif. Sampai saya meminta Mama saya yang bekerja sebagai guru SMP untuk membawakan saya buku Trio Detektif dari sekolahnya. Waktu itu saya masih SD. Ketika Mama berhasil membawakan beberapa bukunya, saya sampai pernah bercita-cita masuk ke SMP dimana Mama saya mengajar. Hanya karena bayangan saya pasti disekolah itu banyak menampung buku-buku kesukaan saya. Meski pada akhirnya pun saya diterima disekolah tersebut, buku-buku yang tersedia diperpustakaannya sudah tidak menarik lagi bagi saya. Karena sudah hampir dipastikan buku-buku itu telah habis saya baca.

Buku yang Tidak saya sukai !

Beranjak SMP saya mulai kenal dengan yang namanya komik. Komik jepang begitu merajelela waktu itu. Mari Chan adalah buku yang sangat booming. Dan saya lebih terbius lagi dengan komik ini dibandingkan dengan buku-buku cerita sebelumnya. Ada seorang kawan sampai membuka penyewaan karena banyaknya peminat padahal pada mulanya boleh hanya dengan  meminjam. Kawan saya malah mengharuskan mereka yang hendak membaca komik-komik itu membayar sebesar 250 perak perbuahnya.

Karena saya begitu addict dengan komik ini saya tidak perduli, sampai ada satu komik yang saya jatuh cinta dan suka sampai akhirnya enggan untuk mengembalikan komik itu dan saya menyimpannya dirumah. Ketika kawan saya menanyakannya tentu saja saya berkata bukunya tidak ada pada saya dan entah dimana. Dan moment ini menjadikan saya tidak diperbolehkan lagi menyewa komik apalagi meminjam.

Dari sinilah, saya tidak menyukai komik-komik Mari Chan. Karena gara-gara kesukaan terhadap komik ini saya jadi mengecewakan kepercayaan seorang kawan. Ketika memutuskan ingin mengembalikannya pun saya kepalang basah karena rasa malu, meski pada akhirnya saya meminta maaf. Disini pula saya bertekad untuk menjauhi komik-komiknya Mari Chan.

Tak Bisa Jauh Darinya

Hal yang paling saya tidak sukai dalam hidup adalah menunggu. Dan buku adalah sahabat setia saya ketika harus sendiri menanti kawan janji atau siapapun. Hal lainnya adalah ketika harus menghadapi lingkungan dan orang-orang baru. Tak jarang ketika lingkungan itu membuat saya termenung tanpa daya, buku lah yang selalu mengusir itu semua. Entah kenapa saya selalu merasa nyaman selalu membawa buku kemana-mana. Meski buku itu sudah berulang kali saya baca.

Sampai ketibaan harus pergi berkelana dinegera orang, karena harus menemani suami yang bersekolah, salah satu yang saya khawatirkan adalah tentang keberadaan buku. Seperti apakah jadinya jika saya tidak bisa mengkonsumsi buku dalam satu minggu, bulan, bahkan tahunan?

Karena saya begitu enggan berpisah jauh darinya, saya membawa setumpuk buku dalam koper untuk menemani saya selama hidup dinegera orang. Bahkan sampai sekarang ini, saya seperti buka perpustakaan mini di rumah, karena banyak kawan disini meminjam buku, melihat koleksi yang saya bawa cukup banyak untuk ukuran disini. Tak jarang pula jika ada kawan yang pulang ke Indonesia saya selalu mengusahakan untuk menitip sebuah buku menarik yang sudah menjadi incaran saya sekian lama.

Syaratnya mudah saja bagi mereka yang ingin meminjam buku saya, yaitu halamannya tidak boleh dilipat! Ya, jangan dilipat. Kebiasaan orang jika membaca dan harus putus ditengah jalan selalunya melipat ujung kertasnya untuk dijadikan tanda. Saya sangat tidak menyukai hal ini. Jadinya selalu saya usahakan selalu ada penanda buku disetiap buku yang saya miliki. Anehnya, cover buku lecek tidak menjadi masalah bagi saya, tapi kertas dilipat dengan sengaja? Saya sedih melihatnya.

Ada satu hal lagi yang saya sukai dari buku ini, yaitu bau buku baru. Heemmm.... jika baru mendapatkan buku baru, saya suka sekali menciumnya. Bau kertas yang tajam mempunyai magnet tersendiri bagi saya untuk segera menyelami isinya.

Begitulah, perjalanan manis saya dengan buku. Ketika sebagian wanita puas jika berbelanja banyak baju atau asesoris yang mereka inginkan, saya menemukan kepuasaan ketika saya bisa membeli banyak buku. Dan meski pun sekarang saya tidak bisa bebas terbang ditengah lautan buku, saya selalu menyempatkan diri mencari celah untuk bisa merasakan siraman harumnya buku baru di negeri jiran ini.

Seperti Mr. Ernest Hemingway bilang "There is no friend as loyal as a book."


*
kepada pemerhati Autis bukan maksud saya melecehkan dengan tulisan ini ya?

Tulisan ini saya ikuti untuk meramaikan kuis yang diadakan Mbak Uci, Klik saja  jika ingin join.
 

Serdang, 5 May 2010
4:35 PM

Comments

Post a Comment

haii Tiada kesan tanpa komentarmu

* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon

Popular posts from this blog

Mudik...!!

What's the meaning of Jilbab