Sebait Doa yang Terselip













Entah kenapa, akhir-akhir ini sering sekali melihat atau membaca status di FB atau bahkan mendengar keluhan orang tentang sikap dan perilaku orang tua mereka. Masih "wajar" jika yang dikeluhkan adalah sikap para orang tua yang sedikit arogan dan terkesan egois. Yang bikin sedih adalah ketika sikap para anak yang kemudian marah bahkan membenci orang tuanya. Bahkan pernah membaca status kawan yang mengatakan marah dengan ibunya yang terlalu banyak aturan dan tepat saat itu juga saya menerima pesan lewat inbox di FB, ibu dari salah seorang kawan saya yang lain meninggal, kemudian kawan itu menceritakan betapa sedih dan kehilangan yang teramat sangat. Dua kondisi yang seharusnya bisa dijadikan sebuah cermin bagi yang lain atau bagi siapapun tentang keberadaan orang tua ketika mereka masih berada disisi kita.


Tetapi mungkin saja jika saat ini saya masih berumur belasan atau masih dibawah 25 an (ketahuan deh udah tuir hahaha..) mungkin saya setuju dengan orang-orang yang berkeluh kesah dengan sikap orang tuanya. Karena saya sendiri terkadang juga merasakan  "keegoisan" mereka para orang tua. Pernah juga muncul keinginan ingin kabur dari rumah, capek mendengar segala perintah ibu, berandai-andai jika saja si orang tua x adalah orang tua saya yang begitu perhatian dan memahami anak-anaknya atau berharap si B mau berbagi ayahnya. Dan hal-hal seperti ini hanya muncul sesaat saja, seringnya justru saya merindukan kedua orang tua yang ada dan lengkap meski mereka terbilang "cerewet" dengan anak-anaknya.

Sebenarnya sedikit enggan untuk bercerita karena harus menguak sebuah memori yang sudah tersimpan lama, tapi akhir-akhir ini keinginan saya untuk sharing kisah ini semakin kuat. Semoga saja tulisan ini bisa dipetik hikmahnya bagi siapapun yang membaca. Semoga...

Kisah Bermula

Ketika umur saya masih belum genap empat bulan, orang tua telah bercerai. Dan sejak itu pula saya tidak pernah bertemu dengan sosok laki-laki yang seharusnya saya panggil Ayah. Mamah pernah menikah satu kali tapi kemudian berpisah kembali. Kondisi seperti ini belum bisa saya fahami, mengingat umur saya masih kecil. Yang saya ingat adalah sebuah perasaan yang tidak bisa dilupakan adalah kerinduan untuk bertemu dengan ayah kandung. Karena waktu itu, Mamah pernah bercerita bahwa ayah yang sebenarnya, saat itu sedang berada diluar kota kemudian karena satu dan lain hal harus berpisah dan pergi meninggalkan kami. Tapi selalu meyakinkan saya, bahwa suatu saat jika sudah waktunya, saya bisa bertemu dengannya.

Mamah adalah sosok yang tegas dan boleh dibilang galak, waktu beliau masih muda. Suka takut jika beliau sudah membelalakkan matanya, Pertanda beliau tidak setuju dengan tingkah laku saya. Tapi dibalik topeng itu, Mamah adalah sosok yang sangat rapuh sekali. Selalunya ingin selalu diperhatikan oleh orang-orang sekitar, ditambah beliau memang sering sakit-sakitan. Bolak balik masuk rumah sakit sudah menjadi langganan baginya. Dari sinilah, pada dasarnya posisi mulai berbalik. Saya lah yang harus memenuhi segala kebutuhannya, membantunya makan, menyiapkan obat dan harus selalu ada disampingnya. Waktu itu saya masih SD, masa ketika bermain menjadi dunia anak-anak seharusnya.

Keadaan seperti ini tidak selalu terjadi, ada kalanya Mamah sehat kembali dan ceria seperti biasanya. Jika pulang kerja beliau selalu membawakan sesuatu. Apalagi jika sudah pergi jauh, selalu ada buah tangan dibawa olehnya. Untuk saat-saat seperti ini, merasakan begitu bersyukurnya memiliki seorang Mamah yang begitu perhatian dan selalu berusaha memenuhi segala kebutuhan. Sering membelikan baju baru atau berbagai macam mainan. Disela-sela merasakan kehangatan Mamah, tak jarang pula sering menyelip kerinduan akan hadirnya seorang ayah. Jika Mamah sedang sehat, seringnya beliau sibuk dengan dunia kerja atau lingkungannya. Sehingga, saya harus bisa mengatur diri dengan segala kebutuhannya. Disaat sepeti inilah kerinduan itu selalu merasuk didalam diri.

Karena kesibukan Mamah dan kemandirian yang ia terapkan, ketika masih SD, saya harus mencuci baju sendiri, menyiapkan sarapan sendiri dan segala kebutuhan lainnya. Jika hari minggu tiba dan saya tidak mencuci seragam dan sepatu sekolah, dipastikan kondisi saya ke sekolah tidak segar. Seringnya saya mencuci sore hari, karena pagi sampai siang selalu asyik bermain, yang seringnya cuaca kota Bandung yang dingin menjadikan halangan bagi baju dan sepatu untuk cepat kering. Sehingga, saya pergi dalam keadaan seragam yang kaku karena basah. Tapi waktu itu bukan menjadi halangan tentunya, karena nantinya akan kering semua ketika saya bersekolah dan beraktifitas di sekolah. Karena kebiasaan memakai seragam dan sepatu basah ini pula lah, menjadikan tubuh saya mudah sekali masuk angin.


The Story Goes On

Merasakan adegan-adegan layaknya sebuah sinetron? Potongan peristiwa lebay dengan iringan musik yang menusuk hati, selalu mengisi kehidupan ketika saya kecil. Dulu sewaktu pulang sekolah dan waktu itu hujan turun dengan derasnya. Karena lupa membawa payung, saya hanya bisa terpaku menunggu hujan reda. Sedang kawan lain sudah mulai membubarkan diri karena dijemput oleh orang tua atau saudaranya. Sampai suasana sekolah sepi, saya hanya bisa termangu disana. Dan selalunya kerinduan kuat akan hadirnya seorang ayah mulai berdesakan keluar. Hingga bermunculan berjuta andai dan mimpi. Jika saja begini atau jika saja begitu.

Ketidakhadiran sosok ayah dalam kehidupan bukan saja membuat diri ini hampa tapi malah mengundang komentar dari para tetangga. Dan Mamah selalu memberikan gambaran baik tentang sosok ayah saya dan meyakinkan "suatu saat nanti akan tiba waktunya bertemu, gak usah dengerin kalo tetangga udah bilang yang aneh-aneh".

Pertemuan Itu....

Dari sekian lama kerinduan saya akan kehadiran ayah, tiba lah waktunya untuk bertemu. Diinginkan atau tidak. Karena sampai lah waktu bagi saya untuk melaksanakan setengah dien-Nya. Harus ada seorang wali nikah. Sampai akhirnya menemukan alamatnya dan pertemuan itu, terjadilah. Luka dan perih mewarnai pertemuan itu. Nampak dia tak berdaya dengan keadaan yang terjadi. Yang akhirnya malah muncul pernyataan yang membuat diri ini terluka. Saya hanya bisa pasrah dengan semua yang terjadi, dan pernikahan tetap dilaksanakan dengan seorang wali hakim bagi pihak saya.


Allah Selalu Ada

Kerinduan sekian lama akan kehadiran dan pertemuan dengan seorang ayah yang kemudian menghasilkan sebuah luka akan selalu menjadi sebuah renungan dalam hidup. Sekian puluh tahun ditinggal yang entah sejak kapan selalu ada keyakinan, suatu saat nanti akan ada bagi saya kehidupan indah untuk dijalani nantinya. Dengan ketidakhadiran seorang ayah dalam kehidupan, selalu saja ada cara bagi Nya untuk saya rasakan, sebuah kehangatan kemudian menepis jauh rasa sepi dalam kehidupan. Kehadiran keluarga besar dari pihak Mamah memberikan arti yang sangat luar biasa kuatnya. Ya, karena tidak mungkin bagi kami untuk tinggal memisahkan diri, semenjak saya masih bayi, saya dan Mamah tinggal bersama keluarga besar dari pihak Mamah. Meski tetap saja saya harus bisa hidup mandiri, kebersamaan yang unik itu merupakan anugerah terbesar dalam hidup saya, yang tidak semua orang mendapatkannya. Nenek dan kakek tempat saya mengadu, juga paman dan bibi yang selalu menjadi guru dalam kehidupan saya. Ramainya sepupu yang ada, menggantikan posisi saudara kandung yang tidak pernah dimiliki.

Mengingat yang terjadi dalam kehidupan, selalu membuat diri ini miris jika melihat orang lain bertingkah laku tidak sewajarnya terhadap orang tua mereka. Mengeluh karena orang tua yang egois dan tidak pernah memahami. Well, kawan setidaknya mereka hadir untuk Anda. Meski seringnya sulit untuk memahami berjuta keinginan mereka, setidaknya mereka berusaha untuk ada, memberikan yang terbaik. Meski mereka mungkin pernah berbuat kesalahan yang susah untuk diterima.

Apalagi ketika akhirnya merasakan menjadi orang tua juga dengan amanah yang Allah beri. Akan semakin memahami bahwa peran dan posisi sebagai orang tua itu tidak lah mudah.  Tapi dibalik perjuangan itu, semua seolah sirna ketika melihat keceriaan dan kegembiraan yang dipancarkan dari wajah sang anak. Sehingga tak ada salahnya ketika berada dalam posisi dimana tidak setuju dengan sikap orang tua yang tidak berkenan, berpikir sekian kali sebelum memberikan respon kepada orang tua. Selama tidak bertentangan dengan agama tak ada ruginya jika kita lebih banyak mendengarkan mereka. Atau bahkan diam.

“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya. Dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya telah menyayangi aku waktu kecil.’” (Al Israa’: 23-24)

Meski pernyataannya membuat hati ini terluka begitu dalam dan tidak dipungkiri jika mengingat kembali pertemuan kelam itu kemarahan selalu memukul-mukul dada, tetapinya didalam diri ini ingin selalu mengirimkan doa baginya yang saat ini entah dimana. Sebuah doa seorang anak kepada ayahnya. Untuk siapapun ia, yang tertinggal jauh dibelakang.

* Lomba ini diadakan oleh "Anazkia, Belajar dan Berukhuwah" dan disponsori oleh "Denai Hati, Hidup Untuk Memberi"

* Untuk foto-foto yang saya dapat diatas, selain banner lomba, saya dapat dari Embah Google, as usual.

Serdang, 7 Juni 2010
10:24 PM

Comments

Post a Comment

haii Tiada kesan tanpa komentarmu

* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon

Popular posts from this blog

Mudik...!!

What's the meaning of Jilbab