[Random Snippets-AIR] Byuuuurr!! Terjun dan kemudian... Tenggelam
Jika mengenang masa kecil, saya masih bersyukur bisa mengenal segala macam permainan tradisional. Dari mainan buat anak lelaki dan tentu saja buat anak perempuan sudah pernah dicoba. Main layangan, main gundu, lompat tali (kalau di Sunda namanya capintrong, khas karet gelang warna merah yang dijalin sedemikian rupa) sampai main kotor-kotoran dengan tanahnya yang masih merah. Ya, rumah dulu di Bandung, daerah Cikutra lebih mendekati Cicadas juga sih, merupakan daerah yang masih kampung alias ndeso. Banyak pohon rindang, rumah-rumah mungil yang masih terbuat dari bilik. Dan yang menambah kawasan itu cukup spooky adalah dengan adanya areal pekuburan tepat dibelakang rumah. Meski lambat laun telah berubah menjadi perumahan. Satu tempat yang tidak bisa dilupakan adalah ada sebuah sungai persis dekat rumah hanya terhalang beberapa rumah tetangga. Jadi, bisa dipastikan area sungai adalah tempat favorit waktu kecil bermain.
Dulu, sungai itu masih asri peris kayak di kampung-kampung. Sekarang masih ada sungainya, hanya saja warnanya udah gak karuan. Apalagi semenjak berdiri sebuah pabrik, meski agak jauh dari sungai lokasinya, tetap saja membuat air sungai selalu berubah warna, membuat warna sungai enggak ada indahnya sama sekali, ditambah baunya yang kadang suka menyengat. Nama sungai itu adalah sungai Cidurian. Orang Bandung pasti sudah tahu kondisi sekarang ini seperti apa sungai Cidurian.
(Gambar bukan Sungai Cidurian, saya ambli dari Google, hanya pemandangan Cidurian dulu kurang lebih seperti itu, berdasarkan memori dalam otak saya
)
Jika mengingat keberadaan sungai itu, selalu teringat semua memori yang ada disana. Kenangan manis dan lucu terlukis jelas disana jika melaluinya, termasuk sebuah tragedi yang tidak akan mudah dilupakan. Bentuk sungai itu waktu dulu masih banyak tanahnya, juga semak-semak yang pas buat jadi tempat persembunyian kalau lagi main petak umpet. Dan sungai mengalir tidak terlalu lebar dan dalam. Masih boleh lah anak-anak bermain disitu.
Keberadaan sungai itu benar-benar fungsional. Ketika lambat laun daerah kami sudah sesak dengan rumah, sungai itu berubah fungsi menjadi lapangan tempat lomba, jika 17an datang menjelang. Percaya atau tidak tanah yang sekarang ini hanya sepotong-potong, disulap sedemikan rupa dijadikan lapangan. Dan air sungai pun hanya mengalir dipinggirnya layaknya air yang mengalir di gorong-gorong. Cuman ya itu, kalau lagi musim hujan dan lebat sudah dipastikan hasil karya para pemuda Karang Taruna hancur berantakan, lapangan yang tadinya luas, menghilang ditelan air sungai yang meluap-luap. Mungkin karena penduduknya yang semakin padat tidak sedikit sungai Cidurian jadi beralih fungsi menjadi tempat sampah, jadi ya itu jika hujan besar sudah dipastikan air sungai akan naik dan meluap, bahkan pernah suatu ketika daerah kami kebanjiran. Cukup tinggi juga bisa sampai selutut orang dewasa. Hingga pada akhirnya pemerintah setempat berinisiatif merenovasi sungai itu untuk segera diperbaharui untuk menghindari banjir, dan disinilah tragedi dimulai.
Awalnya melihat batu-batu alam dan berbagai macam bahan bangunan yang mulai berserakan disimpan oleh para kuli disekitar sungai masih membuat kami anak-anak sekitar ceria. Mainan baru, begitu dipikirnya. Lambat laun ketika mulai diadakan galian besar-besaran dan pelebaran sungai kami mulai bertanya-tanya dengan kegiatan orang-orang kuli itu. Setelah diberitahu ternyata akan dibentuk semacam dinding yang tinggi dikedua sisi sungai untuk menghindari lagi banjir yang berketerusan kesedihan mulai kami rasakan. Bagi orang dewasa mungkin itu sebuah kemajuan tapi tidak bagi kami anak kecil. Tempat kami bermain sudah dipastikan akan menghilang. Apalagi ketika melihat dulu yang awalnya menjadi areal pekuburan dibongkar pula, melihat banyak kerangka manusia yang dibungkus karung putih membuat kami hanya bisa terpaku melihat orang-orang bangunan itu bekerja tanpa lelah.
Tapi yang namanya anak-anak ide untuk bermain pasti selalu ada. Ketika pembangunan terjadi otomatis orang-orang yang disebrang atau sebaliknya pastinya susah untuk melewati sungai yang semakin lama semakin tinggi dan luas, hingga para kuli bangunan itu membangun beberapa jembatan darurat yang terbuat dari batang pohon bambu yang besar-besar. Ada sekitar dua jembatan disana kalau tidak salah. Meski batang bambu itu besar-besar, tapi hanya dipasang sekitar dua atau tiga paling banyak, batang bambu yang diikat dan dijadikan satu untuk dijadikan jembatan. Waktu sungai Cidurian masih mungil dan rendah ada juga jembatan serupa tapi tidak seseram ketika sungai itu jadi tinggi. Ketika melewatinya sudah dipastikan perasaan deg-degan selalu ada ketika melewatinya. Apalagi kalau kawan-kawan mulai iseng menggoyangkan jembatan itu hingga kami yang masih berada diatas jembatan itu terombang-ambing. Hingga saya selalu menghindari ajakan kawan jika sudah ada yang mengajak untuk menyebrangi sungai itu.
(Aslinya jembatan gak ada pegangan sama sekali, hanya terdiri dari tiga batang bambu)
Hingga suatu saat, karena sudah bosan dengan segala permainan yang ada akhirnya luluh juga diri ini dirayu kawan-kawan yang akan menyebrang melalui jembatan si tiga batang bambu itu. Sebenarnya tidak ada yang seru disebrang sana, hanya saja suasana yang sudah mulai membosankan membuat kami ingin berpetualang kembali. Dengan berbagai macam syarat yang saya ajukan ketika menyebrang kawan-kawan menyetujui semua persyaratan yang diajukan. Hingga selamat lah sampai tujuan. Gembira campur aduk atas keberhasilan menyebrang sungai itu. Waktu itu sungai masih tenang, meski cuaca sudah mulai terlihat mendung.
Timbul dan Tenggelam
Setelah puas bermain, kami pun kembali pulang, tambahan hujan mulai rintik-rintik turun membasahi tanah, pun si jembatan tiga itu. Sudah dipastikan jembatan itu menjadi licin karena hujan. Dan air sungai pun sudah mulai naik perlahan. Keringat dingin mulai bercucuran ketika akan menyebrang lagi. Kawan-kawan mulai saling berteriak untuk segera pulang. Melupakan saya dibelakang yang sedang komat-kamit berdoa agar selamat melewati jembatan itu. Sampai kawan-kawan sudah menyebrang mereka berteriak memanggil, agar saya segera menyebrang dan pulang. Atas desakan itu pula akhirnya dengan segala keberanian yang ada saya pun menyebrang secara perlahan.
Pada mulanya badan masih boleh untuk menjaga keseimbangan, hanya ketika sampai ditengah, mata mulai terpaku melihat air sungai beraksi, sibuk dengan riak gelombangnya yang perlahan naik, saya pun panik. Tepatnya, saya hanya bisa terpana oleh air sungai berwarna coklat itu yang semakin lama semakin deras, teriakan kawan pun sudah tidak bisa didengar dengan jelas hingga akhirnya ketikamencoba satu langkah untuk maju, BYUUUUUURRRRR!!!! Saya pun terjun dengan mulusnya masuk kedalam sungai coklat itu. Teriakan histeris kawan pun masih terekam jelas dalam pikiran. "Arrrghhhhh.... Lihaatt Diiaa Terjuuuuuuunnnnnn!!!!!!!" Waktu itu saya hanya terdiam ketika akhirnya jatuh melayang dari jembatan kedalam air. Dan BLASSH!!! Semua gelap dalam pandangan, merasa melayang dan terbang diatas langit tapi semua terasa gelap, berat dan basah. Kemudian dada mulai terasa sesak sulit sekali untuk bernafas. Hingga badan pun naik ke permukaan hanya sekejap, terdorong oleh air tetapi kemudian masuk lagi kedalam sungai.
Timbul dan tenggelam begitu terus-terusan. Sesak dan udara sulit sekali saya temukan. Paru-paru berontak mencari asupan udara. Tapi seluruh tubuh lemas kala itu, hanya bisa pasrah. Saya pikir waktu itu mungkin sudah waktunya mati. Menatap lemah keatas ketika kepala sedikit terangkat dari permukaan air, melihat orang-orang mulai berdatangan mencoba menyelamatkan. Saya hanya bisa pasrah. Hingga tubuh pun tersedot masuk terus kedasar sungai.
Ketika diri merasakan semakin dalam masuk kedalam sungai dan semakin gelap, tiba-tiba kepala terhantuk sesuatu JEDUG!!! Dan PYAAARRRR!!! Tubuh pun diangkat oleh seseorang dan digoyang-goyang. Sampai akhirnya saya digendong dan tersadar oleh riuh tepuk tangan orang-orang yang berada disekitar lokasi. Tubuh pun diturunkan, badan mulai menggigil tidak karuan, orang-orang mulai memberikan handuk, memeluk dan cepat-cepat mengantar pulang.
Tiba dirumah mulut tidak bisa berkata apa-apa. Ketika dimandikan, digantikan baju kering yang terhangat dan ternyaman seumur hidup, dipeluk dan ditatap haru orang-orang serumah, saya hanya bisa bengong. Apakah sudah berada di syurga atau masih di dunia. Sampai ketika meneguk air teh hangat dan melihat sekeliling, diri pun baru menyadari keadaan sekitar dan kemudian menangis keras.
Kata yang Tak Sempat Terucap
Dari penjelasan paman lah semua menjadi jelas. Orang yang menyelamatkan dan mengangkat tubuh dari air adalah para kuli bangunan dan tetangga sekitar yang berjajar ditengah sungai, meski air sudah melebihi dada orang dewasa orang-orang tersebut masih berusaha menutupi sungai agar bisa mendapatkan tubuh saya yang terombang-ambing entah kemana. Kepala yang terhantuk sesuatu adalah kaki dari para penyelamat itu. Ketika mereka menyadari ada yang menubruk salah satu kaki dari para penyelamat itu, mereka menyadari itu adalah tubuh saya dan kemudian mengangkatnya ke permukaan. Paman pula lah yang mulai menginteruksikan orang-orang untuk segera turun ke bawah dan berjajar untuk segera menangkap tubuh saya.
Hanya bisa tersenyum dan mengucapkan berjuta terima kasih kepada para kuli bangunan itu, yang sebelumnya saya benci karena merusak sungai favorit kami. Ketika datang kembali ke sungai itu, setelah seminggu lebih enggan untuk melihatnya, sudah tampak tembok kuat yang membatasi kedua sisi sungai dan hampir rampung. Sedang para kuli bangunan itu pun entah sudah berada dimana. Tidak sempat mengucapkan terima kasih.
Dan sekarang jika melewati sungai itu, tentunya dengan jembatan yang sudah permanen, kuat dan kokoh, hanya bisa menatap jauh sungai yang semakin hari semakin kotor itu. Tersenyum getir jika kembali teringat akan kejadian itu, tak jarang pula momen itu dijadikan bahan canda keluarga ketika saya kembali pulang ke rumah di Cikutra.
"Ummi, dulu pernah jatuh disana Kang" Suatu saat ketika berjalan bersama si sulung.
"Hah? Jatuh ke sungai itu? Serius Ummi? Sakit enggak?"
Saya hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan si sulung. "Cerita Ummi... kok bisa jatuh??"
Kisahnya... bermula dari sungai mungil yang damai ketika mulai berubah menjadi sungai yang ganas, menakutkan dengan warnanya yang kelam dan baunya yang menusuk hidung.
Serdang, 13 Oktober 2010
3:27 PM
* Photo diambil dari Google.
* Tulisan ini dalam rangka meramaikan lombanya Teh Vina
Dulu, sungai itu masih asri peris kayak di kampung-kampung. Sekarang masih ada sungainya, hanya saja warnanya udah gak karuan. Apalagi semenjak berdiri sebuah pabrik, meski agak jauh dari sungai lokasinya, tetap saja membuat air sungai selalu berubah warna, membuat warna sungai enggak ada indahnya sama sekali, ditambah baunya yang kadang suka menyengat. Nama sungai itu adalah sungai Cidurian. Orang Bandung pasti sudah tahu kondisi sekarang ini seperti apa sungai Cidurian.
Jika mengingat keberadaan sungai itu, selalu teringat semua memori yang ada disana. Kenangan manis dan lucu terlukis jelas disana jika melaluinya, termasuk sebuah tragedi yang tidak akan mudah dilupakan. Bentuk sungai itu waktu dulu masih banyak tanahnya, juga semak-semak yang pas buat jadi tempat persembunyian kalau lagi main petak umpet. Dan sungai mengalir tidak terlalu lebar dan dalam. Masih boleh lah anak-anak bermain disitu.
Keberadaan sungai itu benar-benar fungsional. Ketika lambat laun daerah kami sudah sesak dengan rumah, sungai itu berubah fungsi menjadi lapangan tempat lomba, jika 17an datang menjelang. Percaya atau tidak tanah yang sekarang ini hanya sepotong-potong, disulap sedemikan rupa dijadikan lapangan. Dan air sungai pun hanya mengalir dipinggirnya layaknya air yang mengalir di gorong-gorong. Cuman ya itu, kalau lagi musim hujan dan lebat sudah dipastikan hasil karya para pemuda Karang Taruna hancur berantakan, lapangan yang tadinya luas, menghilang ditelan air sungai yang meluap-luap. Mungkin karena penduduknya yang semakin padat tidak sedikit sungai Cidurian jadi beralih fungsi menjadi tempat sampah, jadi ya itu jika hujan besar sudah dipastikan air sungai akan naik dan meluap, bahkan pernah suatu ketika daerah kami kebanjiran. Cukup tinggi juga bisa sampai selutut orang dewasa. Hingga pada akhirnya pemerintah setempat berinisiatif merenovasi sungai itu untuk segera diperbaharui untuk menghindari banjir, dan disinilah tragedi dimulai.
Awalnya melihat batu-batu alam dan berbagai macam bahan bangunan yang mulai berserakan disimpan oleh para kuli disekitar sungai masih membuat kami anak-anak sekitar ceria. Mainan baru, begitu dipikirnya. Lambat laun ketika mulai diadakan galian besar-besaran dan pelebaran sungai kami mulai bertanya-tanya dengan kegiatan orang-orang kuli itu. Setelah diberitahu ternyata akan dibentuk semacam dinding yang tinggi dikedua sisi sungai untuk menghindari lagi banjir yang berketerusan kesedihan mulai kami rasakan. Bagi orang dewasa mungkin itu sebuah kemajuan tapi tidak bagi kami anak kecil. Tempat kami bermain sudah dipastikan akan menghilang. Apalagi ketika melihat dulu yang awalnya menjadi areal pekuburan dibongkar pula, melihat banyak kerangka manusia yang dibungkus karung putih membuat kami hanya bisa terpaku melihat orang-orang bangunan itu bekerja tanpa lelah.
Tapi yang namanya anak-anak ide untuk bermain pasti selalu ada. Ketika pembangunan terjadi otomatis orang-orang yang disebrang atau sebaliknya pastinya susah untuk melewati sungai yang semakin lama semakin tinggi dan luas, hingga para kuli bangunan itu membangun beberapa jembatan darurat yang terbuat dari batang pohon bambu yang besar-besar. Ada sekitar dua jembatan disana kalau tidak salah. Meski batang bambu itu besar-besar, tapi hanya dipasang sekitar dua atau tiga paling banyak, batang bambu yang diikat dan dijadikan satu untuk dijadikan jembatan. Waktu sungai Cidurian masih mungil dan rendah ada juga jembatan serupa tapi tidak seseram ketika sungai itu jadi tinggi. Ketika melewatinya sudah dipastikan perasaan deg-degan selalu ada ketika melewatinya. Apalagi kalau kawan-kawan mulai iseng menggoyangkan jembatan itu hingga kami yang masih berada diatas jembatan itu terombang-ambing. Hingga saya selalu menghindari ajakan kawan jika sudah ada yang mengajak untuk menyebrangi sungai itu.
Hingga suatu saat, karena sudah bosan dengan segala permainan yang ada akhirnya luluh juga diri ini dirayu kawan-kawan yang akan menyebrang melalui jembatan si tiga batang bambu itu. Sebenarnya tidak ada yang seru disebrang sana, hanya saja suasana yang sudah mulai membosankan membuat kami ingin berpetualang kembali. Dengan berbagai macam syarat yang saya ajukan ketika menyebrang kawan-kawan menyetujui semua persyaratan yang diajukan. Hingga selamat lah sampai tujuan. Gembira campur aduk atas keberhasilan menyebrang sungai itu. Waktu itu sungai masih tenang, meski cuaca sudah mulai terlihat mendung.
Timbul dan Tenggelam
Setelah puas bermain, kami pun kembali pulang, tambahan hujan mulai rintik-rintik turun membasahi tanah, pun si jembatan tiga itu. Sudah dipastikan jembatan itu menjadi licin karena hujan. Dan air sungai pun sudah mulai naik perlahan. Keringat dingin mulai bercucuran ketika akan menyebrang lagi. Kawan-kawan mulai saling berteriak untuk segera pulang. Melupakan saya dibelakang yang sedang komat-kamit berdoa agar selamat melewati jembatan itu. Sampai kawan-kawan sudah menyebrang mereka berteriak memanggil, agar saya segera menyebrang dan pulang. Atas desakan itu pula akhirnya dengan segala keberanian yang ada saya pun menyebrang secara perlahan.
Pada mulanya badan masih boleh untuk menjaga keseimbangan, hanya ketika sampai ditengah, mata mulai terpaku melihat air sungai beraksi, sibuk dengan riak gelombangnya yang perlahan naik, saya pun panik. Tepatnya, saya hanya bisa terpana oleh air sungai berwarna coklat itu yang semakin lama semakin deras, teriakan kawan pun sudah tidak bisa didengar dengan jelas hingga akhirnya ketikamencoba satu langkah untuk maju, BYUUUUUURRRRR!!!! Saya pun terjun dengan mulusnya masuk kedalam sungai coklat itu. Teriakan histeris kawan pun masih terekam jelas dalam pikiran. "Arrrghhhhh.... Lihaatt Diiaa Terjuuuuuuunnnnnn!!!!!!!" Waktu itu saya hanya terdiam ketika akhirnya jatuh melayang dari jembatan kedalam air. Dan BLASSH!!! Semua gelap dalam pandangan, merasa melayang dan terbang diatas langit tapi semua terasa gelap, berat dan basah. Kemudian dada mulai terasa sesak sulit sekali untuk bernafas. Hingga badan pun naik ke permukaan hanya sekejap, terdorong oleh air tetapi kemudian masuk lagi kedalam sungai.
Timbul dan tenggelam begitu terus-terusan. Sesak dan udara sulit sekali saya temukan. Paru-paru berontak mencari asupan udara. Tapi seluruh tubuh lemas kala itu, hanya bisa pasrah. Saya pikir waktu itu mungkin sudah waktunya mati. Menatap lemah keatas ketika kepala sedikit terangkat dari permukaan air, melihat orang-orang mulai berdatangan mencoba menyelamatkan. Saya hanya bisa pasrah. Hingga tubuh pun tersedot masuk terus kedasar sungai.
Ketika diri merasakan semakin dalam masuk kedalam sungai dan semakin gelap, tiba-tiba kepala terhantuk sesuatu JEDUG!!! Dan PYAAARRRR!!! Tubuh pun diangkat oleh seseorang dan digoyang-goyang. Sampai akhirnya saya digendong dan tersadar oleh riuh tepuk tangan orang-orang yang berada disekitar lokasi. Tubuh pun diturunkan, badan mulai menggigil tidak karuan, orang-orang mulai memberikan handuk, memeluk dan cepat-cepat mengantar pulang.
Tiba dirumah mulut tidak bisa berkata apa-apa. Ketika dimandikan, digantikan baju kering yang terhangat dan ternyaman seumur hidup, dipeluk dan ditatap haru orang-orang serumah, saya hanya bisa bengong. Apakah sudah berada di syurga atau masih di dunia. Sampai ketika meneguk air teh hangat dan melihat sekeliling, diri pun baru menyadari keadaan sekitar dan kemudian menangis keras.
Kata yang Tak Sempat Terucap
Dari penjelasan paman lah semua menjadi jelas. Orang yang menyelamatkan dan mengangkat tubuh dari air adalah para kuli bangunan dan tetangga sekitar yang berjajar ditengah sungai, meski air sudah melebihi dada orang dewasa orang-orang tersebut masih berusaha menutupi sungai agar bisa mendapatkan tubuh saya yang terombang-ambing entah kemana. Kepala yang terhantuk sesuatu adalah kaki dari para penyelamat itu. Ketika mereka menyadari ada yang menubruk salah satu kaki dari para penyelamat itu, mereka menyadari itu adalah tubuh saya dan kemudian mengangkatnya ke permukaan. Paman pula lah yang mulai menginteruksikan orang-orang untuk segera turun ke bawah dan berjajar untuk segera menangkap tubuh saya.
Hanya bisa tersenyum dan mengucapkan berjuta terima kasih kepada para kuli bangunan itu, yang sebelumnya saya benci karena merusak sungai favorit kami. Ketika datang kembali ke sungai itu, setelah seminggu lebih enggan untuk melihatnya, sudah tampak tembok kuat yang membatasi kedua sisi sungai dan hampir rampung. Sedang para kuli bangunan itu pun entah sudah berada dimana. Tidak sempat mengucapkan terima kasih.
Dan sekarang jika melewati sungai itu, tentunya dengan jembatan yang sudah permanen, kuat dan kokoh, hanya bisa menatap jauh sungai yang semakin hari semakin kotor itu. Tersenyum getir jika kembali teringat akan kejadian itu, tak jarang pula momen itu dijadikan bahan canda keluarga ketika saya kembali pulang ke rumah di Cikutra.
"Ummi, dulu pernah jatuh disana Kang" Suatu saat ketika berjalan bersama si sulung.
"Hah? Jatuh ke sungai itu? Serius Ummi? Sakit enggak?"
Saya hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan si sulung. "Cerita Ummi... kok bisa jatuh??"
Kisahnya... bermula dari sungai mungil yang damai ketika mulai berubah menjadi sungai yang ganas, menakutkan dengan warnanya yang kelam dan baunya yang menusuk hidung.
Serdang, 13 Oktober 2010
3:27 PM
* Photo diambil dari Google.
* Tulisan ini dalam rangka meramaikan lombanya Teh Vina
Comments
Post a Comment
haii Tiada kesan tanpa komentarmu
* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon