Menerima Rasa Sakit
Sebuah perjalanan selama sembilan bulan akhirnya telah menemui sebuah gerbang baru. Alhamdulillah, satu bulan sudah dede bayi yang selama ini selalu dengan tenangnya didalam perut telah lahir ke dunia. Sehat dan tak kurang satu apapun, insyaAllah alhamdulillah. Penantian yang cukup membutuhkan kesabaran, hampir setiap orang menanti kelahiran kali ini. Selalu bertanya kapan akan lahir? Apa sudah masuk waktunya? Terutama ketika diberitahu jika gejala-gejala melahirkan sudah terasa ketika memasuki minggu-minggu menjelang 40 setiap orang ikut was-was, apalagi sang inang.
Tapi begitulah, sang janin rupanya benar-benar mengajarkan arti sebuah kesabaran. Meski dua minggu menjelang lahiran gejala-gejala itu semakin kuat terasa, bayi mungil itu masih saja betah didalam rahim. Dua minggu selama penantian itu, pembukaan jalan lahir hanya terbuka satu saja. Hinggaakhirnya dokter menyarankan untuk langsung chek in di Rumah Sakit. Khawatir proses lahiran akan cepat terjadi, melihat kondisi saya yang mulai tidak nyaman.
Malam menjelang lahiran, gejala itu malah berkurang, meski rasa mules masih ada tapi tanda-tanda yang menunjukkan janin ingin keluar tak kunjung tiba. Hanya bisa pasrah pada akhirnya, terserah apa yang akan dokter lakukan untuk mempercepat proses itu. Ditengah kepasrahan, Allah mulai menunjukkan kasih sayang-Nya. Ketika adzan subuh akan menjelang pergerakan dede bayi mulai memperlihatkan gejala melahirkan. Air ketuban pecah dan kontraksi pun mulai meningkat. Terakhir berada dipembukaan empat, setelah di cek kembali pembukaan meningkat menjadi tujuh. Suster segera mengalihkan saya ke ruang persalinan. Dalam waktu dua jam dari air ketuban pecah pembukaan telah lengkap. Dan waktu bagi dede bayi untuk keluar pun telah tiba dan alhamdulillah dokter yang akan membantu proses persalinan tiba tepat waktu ketika janin mulai mendesak ingin keluar.
Ketika proses lahiran akan dimulai dokter mengeluarkan kata-kata yang begitu menenangkan juga meminta perawat-perawat, yang waktu itu didalam ruangan untuk berdoa. Ditengah rasa kontraksi yang semakin menghebat kami saling berpegangan tangan memohon kepada-Nya untuk memberikan kemudahan agar persalinan berjalan lancar, semua orang memandang saya untuk menguatkan. Pada titik itu saya merasakan puncak perjuangan yang entah akan berakhir seperti apa, jujur saja rasa takut mulai menerpa. Berjuta rasa takut dan was-was hinggap, jika akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi dokter mengenggam tangan saya menguatkan, juga pelukan suami dan bisikannya yang tak henti-hentinya mengingatkan untuk terus menyebut nama-Nya. Saya memejamkan mata berharap semua kekuatan yang terkumpul diruangan itu mempermudah semuanya.
Ditengah proses akan keluarnya bayi, konsentrasi saya mulai pecah. Diantara harus segera mengeluarkan bayi dengan rasa tegang yang menyelimuti, hingga janin kesulitan untuk segera meluncur keluar. Satu hal yang paling tidak akan dilupakan adalah ketika dokter berkata
"Ibu... coba terima rasa sakitnya, jangan dilawan atau ditolak. Biar dede bayinya mudah untuk keluar"
Waktu itu sudah mencoba berkali-kali untuk tenang ditengah rasa sakit yang melanda, entah kenapa otot-otot disekitar paha dan jalan lahir begitu tegang dan kaku, hingga menyulitkan kepala bayi untuk keluar. Sampai dokter berkata seperti itu, saya hanya bisa menerawang, mencoba untuk meresapi kalimat tersebut
"Menerima rasa sakit? Kenapa harus diterima? Bukan kah rasa sakit itu harusnya dibuang jauh-jauh dan dilupakan begitu saja?"
Kemudian dokter menambahkan "Pasrah kan semuanya kepada Sang Pemilik Bu...terima saja"
Seolah memahami kegalauan hati, sang dokter tersenyum memberikan kekuatan. Dan ya, segala puja dan puji hanya milik-Nya, ketika pada akhirnya mencoba untuk menerima rasa sakit itu kemudian hanya bisa berserah diri kepada-Nya, bayi mungil itu akhirnya meluncur dengan mulus keluar diiringi suara tangisnya memenuhi ruangan. Allah kembali menunjukkan mukjizatnya.
Mendengar suara tangisnya yang semakin kuat, beribu ucapan terima kasih tak henti-hentinya diucapkan kepada para perawat yang menemani waktu itu. Khususnya sang dokter yang begitu luar biasa sabar dan tenang membantu proses persalinan. Kemudian, ketika melihat mukjizat kecil itu ditaruh diatas dada dan memeluknya saya hanya bisa menangis, menikmati berkah yang telah Ia limpahkan kepada kami.
Hingga saat ini, kata-kata yang diberikan dokter waktu itu yakni "Menerima Rasa Sakit" seolah menjadi salah satu kalimat sakti dalam hidup. Seringnya dulu, ketika berbagai ujian melanda dalam kehidupan, hingga menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat perih, selalunya ingin ditepis jauh-jauh dan segera dilupakan. Hingga terkadang bingung harus berbuat apa dan pada akhirnya hanya bisa pasrah.
Menerima rasa sakit! Betul, kenapa tidak diterima saja rasa sakit itu kemudian pasrah dan berserah diri hanya kepada-Nya. Tak perlu adanya sebuah penolakan karena ujian yang datang, bukankah salah satu bukti kasih sayang-Nya juga yang memang terkadang sulit untuk dipahami? Wallohu'alam.

"Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan" Al-insyirah 94:6
Dedicated for dr. Delle Heliani Amali, Sp.O.G.*semoga Allah senantiasa memberikan barokah-Nya untuk mu*
Bandung, 17 Maret 2010
10.00 PM
Tapi begitulah, sang janin rupanya benar-benar mengajarkan arti sebuah kesabaran. Meski dua minggu menjelang lahiran gejala-gejala itu semakin kuat terasa, bayi mungil itu masih saja betah didalam rahim. Dua minggu selama penantian itu, pembukaan jalan lahir hanya terbuka satu saja. Hinggaakhirnya dokter menyarankan untuk langsung chek in di Rumah Sakit. Khawatir proses lahiran akan cepat terjadi, melihat kondisi saya yang mulai tidak nyaman.
Malam menjelang lahiran, gejala itu malah berkurang, meski rasa mules masih ada tapi tanda-tanda yang menunjukkan janin ingin keluar tak kunjung tiba. Hanya bisa pasrah pada akhirnya, terserah apa yang akan dokter lakukan untuk mempercepat proses itu. Ditengah kepasrahan, Allah mulai menunjukkan kasih sayang-Nya. Ketika adzan subuh akan menjelang pergerakan dede bayi mulai memperlihatkan gejala melahirkan. Air ketuban pecah dan kontraksi pun mulai meningkat. Terakhir berada dipembukaan empat, setelah di cek kembali pembukaan meningkat menjadi tujuh. Suster segera mengalihkan saya ke ruang persalinan. Dalam waktu dua jam dari air ketuban pecah pembukaan telah lengkap. Dan waktu bagi dede bayi untuk keluar pun telah tiba dan alhamdulillah dokter yang akan membantu proses persalinan tiba tepat waktu ketika janin mulai mendesak ingin keluar.
Ketika proses lahiran akan dimulai dokter mengeluarkan kata-kata yang begitu menenangkan juga meminta perawat-perawat, yang waktu itu didalam ruangan untuk berdoa. Ditengah rasa kontraksi yang semakin menghebat kami saling berpegangan tangan memohon kepada-Nya untuk memberikan kemudahan agar persalinan berjalan lancar, semua orang memandang saya untuk menguatkan. Pada titik itu saya merasakan puncak perjuangan yang entah akan berakhir seperti apa, jujur saja rasa takut mulai menerpa. Berjuta rasa takut dan was-was hinggap, jika akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi dokter mengenggam tangan saya menguatkan, juga pelukan suami dan bisikannya yang tak henti-hentinya mengingatkan untuk terus menyebut nama-Nya. Saya memejamkan mata berharap semua kekuatan yang terkumpul diruangan itu mempermudah semuanya.
Ditengah proses akan keluarnya bayi, konsentrasi saya mulai pecah. Diantara harus segera mengeluarkan bayi dengan rasa tegang yang menyelimuti, hingga janin kesulitan untuk segera meluncur keluar. Satu hal yang paling tidak akan dilupakan adalah ketika dokter berkata
"Ibu... coba terima rasa sakitnya, jangan dilawan atau ditolak. Biar dede bayinya mudah untuk keluar"
Waktu itu sudah mencoba berkali-kali untuk tenang ditengah rasa sakit yang melanda, entah kenapa otot-otot disekitar paha dan jalan lahir begitu tegang dan kaku, hingga menyulitkan kepala bayi untuk keluar. Sampai dokter berkata seperti itu, saya hanya bisa menerawang, mencoba untuk meresapi kalimat tersebut
"Menerima rasa sakit? Kenapa harus diterima? Bukan kah rasa sakit itu harusnya dibuang jauh-jauh dan dilupakan begitu saja?"
Kemudian dokter menambahkan "Pasrah kan semuanya kepada Sang Pemilik Bu...terima saja"
Seolah memahami kegalauan hati, sang dokter tersenyum memberikan kekuatan. Dan ya, segala puja dan puji hanya milik-Nya, ketika pada akhirnya mencoba untuk menerima rasa sakit itu kemudian hanya bisa berserah diri kepada-Nya, bayi mungil itu akhirnya meluncur dengan mulus keluar diiringi suara tangisnya memenuhi ruangan. Allah kembali menunjukkan mukjizatnya.
Mendengar suara tangisnya yang semakin kuat, beribu ucapan terima kasih tak henti-hentinya diucapkan kepada para perawat yang menemani waktu itu. Khususnya sang dokter yang begitu luar biasa sabar dan tenang membantu proses persalinan. Kemudian, ketika melihat mukjizat kecil itu ditaruh diatas dada dan memeluknya saya hanya bisa menangis, menikmati berkah yang telah Ia limpahkan kepada kami.
Hingga saat ini, kata-kata yang diberikan dokter waktu itu yakni "Menerima Rasa Sakit" seolah menjadi salah satu kalimat sakti dalam hidup. Seringnya dulu, ketika berbagai ujian melanda dalam kehidupan, hingga menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat perih, selalunya ingin ditepis jauh-jauh dan segera dilupakan. Hingga terkadang bingung harus berbuat apa dan pada akhirnya hanya bisa pasrah.
Menerima rasa sakit! Betul, kenapa tidak diterima saja rasa sakit itu kemudian pasrah dan berserah diri hanya kepada-Nya. Tak perlu adanya sebuah penolakan karena ujian yang datang, bukankah salah satu bukti kasih sayang-Nya juga yang memang terkadang sulit untuk dipahami? Wallohu'alam.
"Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan" Al-insyirah 94:6
Dedicated for dr. Delle Heliani Amali, Sp.O.G.*semoga Allah senantiasa memberikan barokah-Nya untuk mu*
Bandung, 17 Maret 2010
10.00 PM
Comments
Post a Comment
haii Tiada kesan tanpa komentarmu
* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon