Maut itu dekat, ya?

Hari jum'at kemarin, siang bada jum'atan, tiba-tiba ada pengumuman dari masjid komplek rumah. Jika pengumuman sudah diawali dengan "Inna lillaahi wa inna ILAIHI raaji'uun..." Selalunya terasa deg-degan dengan apa yang akan diberitahukan selanjutnya. Karena hampir sudah tahu dengan penduduk seluruh komplek, kami selalunya menghela nafas jika terdengar si Bapak A yang di RT 4 meninggal, atau si ibu X dari RT 1. Sampai kemarin hati ini mulai deg-degan ketika suara pengumuman mulai terdengar, yang entah kenapa dalam pikiran sudah menyebutkan satu nama, dan ternyata apa yang ditakuti terjadi. Bapak tetangga depan rumah meninggal.

Meski memang sebelumnya kondisi tubuhnya sudah menurun karena penyakit, tetap saja kaget mendengar nama bapak itu disebut. Langsung teringat beberapa hari sebelumnya ketika masih melihatnya cukup segar bugar dan beraktifitas kembali. Atau ketika beliau terbiasa menyetir mobil sendirian dengan cucunya, melihatnya begitu menikmati kebersamaan dengan cucunya tercinta. Terkadang jika saya sedang membereskan halaman rumah dan beliau sedang membersihkan mobilnya, senyum ramah sering ia obral kepada saya. Mengingat kenangan ketika beliau masih ada dan Kemudian melihat keadaan depan rumah yang ramai dengan orang-orang yang melayat, masih saja merasa tidak percaya jika bapak itu sudah meninggal.

Sesaat setelah pengumuman, para lelaki yang pulang dari sholat jum'at mulai berdatangan dan membereskan keadaan rumah untuk menyambut kedatangan jenazah dan para pelayat. Kagum dengan kesigapan orang-orang komplek. Kepedulian, mereka tunjukkan dengan menyiapkan kursi, tenda, minuman hingga ketika jenazah tiba dan pelayat mulai ramai, rumah duka sudah siap menyambutnya.

Tadi, ketika melihat jenazah sudah tiba, saya segera datang kesana. Dan dua kurcaci dirumah ngotot pengen ikut, walhasil mereka menghalangi para ibu yang berdesakan didalam rumah. Dalam rangka menghindari orang-orang yang semakin berdesakan dipintu masuk, saya pun mengajak anak-anak untuk mendekati jenazah yang berada diruang tengah dan mendoakannya.

Bukannya suasana tenang yang muncul melihat emaknya berurai air mata, anak-anak malah sibuk bertanya-tanya tentang keadaan jenazah.

"Ummi, kenapa wajahnya ditutup?"
"Ummi, kenapa badannya juga ditutupi sarung?"
"Ummi, kenapa ditali kayak gitu?"
"Kenapa hidungnya dikasih kapas? Terus dibungkus kayak pocong gitu Ummi?"

Konsentrasi kesedihan buyar, saya hanya meletakkan jari diatas mulut meminta mereka diam. Sambil berbisik "Diskusinya nanti aja ya dirumah"

Kemudian ketika melihat sang istri almarhum saya langsung menghampirinya, juga segera mendekati putrinya, karena memang kenal dekat dengannya. Melihat saya si teman ini langsung memeluk erat, "Haniii... saya udah engga punya papah lagi, udah gak ada yang ngaji di ruang depan lagi, udah gak ada yang nasehatin saya lagi... gimana Haann... papah udah gak ada..." Ia terus menerus berkata, ditengah suara isak tangisnya, mengingat semua kenangan bersama ayahnya.

Dan saya, hanya bisa merangkul erat tubuhnya sejurus mengelus punggungnya tanpa bisa berkata-kata.

Kehilangan yang dirasakan kawan, ikut terbayang ketika harusnya ada orang yang begitu rajin pergi sholat ke masjid atau sayup-sayup suara orang mengaji dari depan rumah sudah tak ada. Saya yang terbiasa ikut "menikmati" aktifitas beliau hanya bisa menerawang.

Kematian begitu dekat ternyata ya? Padahal selama ini merasa jika maut akan lama menjelang kehidupan. Merasa diri masih diberikan jatah umur banyak, melihat tubuh bapak itu terbujur kaku dengan wajahnya yang pucat, saya tak tahan untuk menahan air mata ini untuk tidak keluar. Apalagi melihat sang istri yang pingsan beberapa kali juga mendengar rintihan sang putri mencoba menguatkan ibunya, saya merenung.

Apa jadinya jika saya diposisi mereka, atau justru saya lah yang berada di posisi bapak tersebut. Sudah siap kah? Seperti melihat sebuah adegan sinetron didepan mata yang benar-benar nyata, ketika menyaksikan kesedihan keluarga tersebut.

Melihat orang semakin banyak berdatangan, saya pamit pulang. Tiba dirumah si sulung malah nangis sesenggukan, hingga tangisnya pun meledak. Bingung dengan keadaan itu, ketika ditanya kenapa dia menangis ia mencoba menjawab ditengah suara tangisannya, "Akang, gak mau mati... Akang gak mau Ummi mati...gak mau Abi mati... takuuttt"

Saya tersenyum getir mendengar jawabannya... Ummi pun takut Nak, mengingat lebih banyak dosa dalam diri dibandingkan amal kebaikan. Lebih banyak beramal Nak... agar kita segera berkumpul lagi di jannah-Nya kelak, Amin.















"..... hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhan ku, kembalikanlah aku (ke dunia)" QS. Al-Mukminin (23) ayat 99.


*Al-fatihah bagi almarhum, semoga Allah melapangkan jalannya, meluaskan kuburnya juga memberikan ketenangan hati bagi mereka yang ditinggalkannya, amin.

* Photo dapet nyomot dari sinih

Bandung, 1 April 2011

11:14 PM

Comments

Post a Comment

haii Tiada kesan tanpa komentarmu

* Just click on the pic and copas into box comment for using the emoticon

Popular posts from this blog

What's the meaning of Jilbab

Buku Antalogi Pertama Saya